saya ikut kejadian ini. menurut pengacara ibu meiliana, korban hanya "curhat" kepada ibu-ibu lain. fakta lapangan, ibu-ibu sendiri cepat menyebarkan isu-isu baru. gosip mulai bertebaran dimana-mana. maaf-maaf saja, hakim-hakim itu harus dikoreksi track recordnya. memang, semua dimata hukum sama, tapi yang jadi problem nya bagaimana bisa hakim memutuskan secara tidak adil. suatu saat kasus ini akan menjadi bahan kajian atau tulisan para akademisi.
pertama-tama, ini kasus sebenarnya dibuat-buat oleh pihak atau masyarakat yang tidak suka latar belakang ibu meiliana. saya ikuti dan baca-baca lagi kasus ini dengan teliti. mereka menyerang beliau dengan embel-embel "agama". pada akhirnya keluarlah pasal yang dittuntutkan, pasal itu bagi saya sendiri lemah. saya tidak ada bukti untuk mengungkapkan lemahnya. tapi tidak etis saja. sekaligus kritik saya kepada yang mulia, hakim-hakim dalam sidang keputusan dipenjaranya 18 bulan.
kedua, ada propoganda yang dibuat-buat. lasswell mengatakan sendiri bahwa adanya manipulasi pembicaraan untuk suatu kelompok tertentu. propoganda memang sering dalam dunia politik. tapi, alangkah lebih baiknya, rasionalitas individu terus digunakan. moralitas kita mau dibawa kemana kalau hidup beragam agama, ras, suku dan semuanya tak bisa diterima dengan baik. perlu diketahui, hindari sering menggunakan logika sesat dalam menyesatkan orang lain. indonesia ini muncul pada abad ke 2. uni soviet beda sedikit sama indonesia, meskipun begitu, ia telah hilang. indonesia adanya pancasila adalah kekuatan yang bisa menyesuaikan dengan berbeda-beda zaman.
sudah banyak kok kasus-kasus yang terjadi seperti meiliana. prof sahetapy pernah mengkritik juga aparat kepolisian, hakim dan jaksa. memang, dengan mendukung orang-orang baik adalah tugas semua masyarakat indonesia. sayangnya, kadang masyarakat gampang menelan kebohongan-kebohongan yang dibuat dari satu orang menyebar kelainnya dengan cepat.
ketiga, saya angkat topi untuk pengacara ibu meiliana. dia tidak banyak bicara. legowo beliau beserta ibu meiliana sudah menjadikan mereka menang. nanti kita lihat apakah hakim-hakim ini diperiksa atau tidak. hanya diindonesia, nenek-nenek mengambil ubi dikebun anaknya sampai dituntut milyaran rupiah. tapi, waktu itu hakim memahami benar situasi yang sebenarnya. hati nurani bangsa kita sedang amburadul.
kasus-kasus seperti ini tidak bisa diabaikan. orang yang melaporkan juga harus diperiksa. dia telah membuat manuver. dengan demokrasinya bangsa kita, tidak seenaknya semua bisa bebas maunya saling melaporkan keaparat hukum. masyarakat madani adalah salah satu masyarakat yang maju. alm prof nurcholish madjid pernah membahas ini dalam bukunnya. mereka semua maju dan beradab. sayannya, dengan saling melaporkan karena berbeda latar belakang dan kepentingan menjadikan orang tak bersalah menjadi bersalah.
saya tak akan bahas pukul palunya majlis hakim, yang disayangkan, secepat itu mengambil keputusan yang tiak dapat diterima masyarakat. masyarakat sudah tidak percaya kepada aparat hukum negara ini. lalu apa yang mau diharapkan. kalau ada yang bilang pak presiden harus ikut campur, hati-hati. presiden tidak bisa mengintervensi hakim. saya harap semua akademisi hukum tulis, bicara dan sampaikan tidak etis kasus ini.
untuk Partai keadilan sejahtera (PKS) berhenti bermain-main dan untuk para partai, terutama PKS. belajar dimana sampai semaunya menyimpulkan penistaan agama dalam kasus ini (.pks : penistaan agama singgung azan ). saya tidak sependapat dengan pernyataan partai ini. sudah terbiasa PKS mencari kesempatan mengutuk orang lain. harusnya ada ide untuk tabayyun (mengklarifikasi). bijak berbeda dengan pintar.
lebih kejam orang-orang partai anda memakan uang rakyat. itu uang haram. luar biasa dosanya. awalnya kan begini kasusnya : sumber : https://news.detik.com/berita/4179004/pengacara-ungkap-lika-liku-kasus-meiliana-yang-keluhkan-volume-azan
Tanggal 22 Juli 2016,
ibu Meliana belanja ke tetangganya, lazimnya ibu-ibu belanja, curhat kepada pemilik warung (hanya mereka berdua), "kak, sekarang suara mesjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras", pemilik warung yang jadi saksi dipersidangan tersebut juga mengakui bahwa itulah yang diucapkan Meliana.
Namun, kemudian pemilik warung menyampaikan curhatan Meliana tersebut kepada saudaranya, saudaranya menyampaikan kepada bapaknya, bapaknya menyampaikan kepada orang lainnya lagi, akhirnya tersebar isu bahwa ada "orang melarang Adzan" merujuk kepada ibu Meliana, issu tsb menyebar luas, seperti biasa medsos bekerja dengan cepat, massa menelan mentah-mentah issu tadi, akhirnya massa marah pada tanggal 29 Juli 2016. Dalam persidangan bahkan seorang saksi mengaku bahwa ada orang yang tidak dikenalnya menelepon dirinya untuk melakukan aksi karena ada yang melarang adzan. (Kita tidak tahu siapa yang menelpon, dan berapa orang yang ditelepon untuk menciptakan kegaduhan)
dalam media yang lain juga dikatakan, suami beliau sudah meminta maaf. dia hanya mengeluhkan bukan menghina, atau menistakan. masyarakat kita atau semuanya harus banyak belajar dari sejarah indonesia. hal-hal seperti ini masih bisa dibicarakan dengan baik. kalau hanya mengedepankan kebencian, celakalah kita. terakhir, "Kebencian adalah seperti minum racun dan berharap racun itu akan membunuh musuhmu." - Nelson Mandela
penulis, Abdillah husain, wakil ketua umum yayasan hamada foundation malang serta peneliti muslim dan penulis.
Komentar
Posting Komentar